Orang Dairi, pasti tahu tempat ini. Bukan Sibuluan, apalagi Sibuhuan, ya. Konon, di zaman para leluhur, di daerah ini banyak BULU, alias bamboo. Jadi makna parbuluan, berarti “tempat bambu”. Karena itu di kampung ini doeloe sudah sangat akrab dengan TUBIS. Sekarang, sudah menjadi nama satu Kecamatan, yang “berayah” kota di SIGALINGGING. Seingat saya dulu, masa kanak-kanak, daerah PARBULUAN, dibagi dengan Parbuluan 1-6. Saya lahir (1960) di Parbuluan 6 tepatnya PARIKKI dan dibesarkan di Parbuluan 2 lebih populer dengan nama SIMALLOPUK (sejak usia 2-17 tahun).
Di desa inilah saya sekolah dasar (tamat 1972). Banyak kenangan yang samapi sekarang masih terbentang dalam benak. “Mandokdak insor dan gurea”, merupakan kegiatan favorit kalau ada waktu bebas dari orangtua. Mencari markisa hutan (lebih dikenal sekarang ini dengan nama Markisa Berastagi. Menjerat burung ke hutan secara terencana atau hanya sampingan di pinggir ladang, adalah kebiasaan anak-anak di desa ini. Saat bulan Agustus – September, biasanya mencari jamur (dan boja) ke hutan-hutan, karena jenis jamur ini sangat enak seperti makan daging saja layaknya.
Pada masa kanak-kanak saya, Parbuluan ini, terkenal sebagai penghasil nilam. Tetapi karena pertaniannya masih bersifat tradisional-konvensional, sehingga para petani tidak dapat menghasilkan banyak minyak nilam. Umumnya, di daerah kami, yang sama sekali tidak menghasilkan beras, biasanya makanan utama adalah ubi sedangkan nasi adalah makanan penopang. Sarapan pagi full makan ubi, siang harus makan ubi dulu setengah isi baru masuk nasi, sayur dan ikan asin (gulamo na tinutung atau gorng), sore hari makan ubi dulu 3/4 isi baru nasi - sayur dan ikan asin 1/4 isi. Soal ikan sih, sudah biasa di desa ini makan seafood, karena ikan asinnya adalah ikan laut bukan ikan tawar.
Your Title
Kamis, 24 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kamis, 24 Maret 2011
Cerita Orang Parbuluan
Orang Dairi, pasti tahu tempat ini. Bukan Sibuluan, apalagi Sibuhuan, ya. Konon, di zaman para leluhur, di daerah ini banyak BULU, alias bamboo. Jadi makna parbuluan, berarti “tempat bambu”. Karena itu di kampung ini doeloe sudah sangat akrab dengan TUBIS. Sekarang, sudah menjadi nama satu Kecamatan, yang “berayah” kota di SIGALINGGING. Seingat saya dulu, masa kanak-kanak, daerah PARBULUAN, dibagi dengan Parbuluan 1-6. Saya lahir (1960) di Parbuluan 6 tepatnya PARIKKI dan dibesarkan di Parbuluan 2 lebih populer dengan nama SIMALLOPUK (sejak usia 2-17 tahun).
Di desa inilah saya sekolah dasar (tamat 1972). Banyak kenangan yang samapi sekarang masih terbentang dalam benak. “Mandokdak insor dan gurea”, merupakan kegiatan favorit kalau ada waktu bebas dari orangtua. Mencari markisa hutan (lebih dikenal sekarang ini dengan nama Markisa Berastagi. Menjerat burung ke hutan secara terencana atau hanya sampingan di pinggir ladang, adalah kebiasaan anak-anak di desa ini. Saat bulan Agustus – September, biasanya mencari jamur (dan boja) ke hutan-hutan, karena jenis jamur ini sangat enak seperti makan daging saja layaknya.
Pada masa kanak-kanak saya, Parbuluan ini, terkenal sebagai penghasil nilam. Tetapi karena pertaniannya masih bersifat tradisional-konvensional, sehingga para petani tidak dapat menghasilkan banyak minyak nilam. Umumnya, di daerah kami, yang sama sekali tidak menghasilkan beras, biasanya makanan utama adalah ubi sedangkan nasi adalah makanan penopang. Sarapan pagi full makan ubi, siang harus makan ubi dulu setengah isi baru masuk nasi, sayur dan ikan asin (gulamo na tinutung atau gorng), sore hari makan ubi dulu 3/4 isi baru nasi - sayur dan ikan asin 1/4 isi. Soal ikan sih, sudah biasa di desa ini makan seafood, karena ikan asinnya adalah ikan laut bukan ikan tawar.
Di desa inilah saya sekolah dasar (tamat 1972). Banyak kenangan yang samapi sekarang masih terbentang dalam benak. “Mandokdak insor dan gurea”, merupakan kegiatan favorit kalau ada waktu bebas dari orangtua. Mencari markisa hutan (lebih dikenal sekarang ini dengan nama Markisa Berastagi. Menjerat burung ke hutan secara terencana atau hanya sampingan di pinggir ladang, adalah kebiasaan anak-anak di desa ini. Saat bulan Agustus – September, biasanya mencari jamur (dan boja) ke hutan-hutan, karena jenis jamur ini sangat enak seperti makan daging saja layaknya.
Pada masa kanak-kanak saya, Parbuluan ini, terkenal sebagai penghasil nilam. Tetapi karena pertaniannya masih bersifat tradisional-konvensional, sehingga para petani tidak dapat menghasilkan banyak minyak nilam. Umumnya, di daerah kami, yang sama sekali tidak menghasilkan beras, biasanya makanan utama adalah ubi sedangkan nasi adalah makanan penopang. Sarapan pagi full makan ubi, siang harus makan ubi dulu setengah isi baru masuk nasi, sayur dan ikan asin (gulamo na tinutung atau gorng), sore hari makan ubi dulu 3/4 isi baru nasi - sayur dan ikan asin 1/4 isi. Soal ikan sih, sudah biasa di desa ini makan seafood, karena ikan asinnya adalah ikan laut bukan ikan tawar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar